Catatan Perjalanan :

Dari New Orleans Ke Kendal

 

8.   Jika Memilih Untuk Tidur Di Ruang Tunggu Bandara Changi

 

Selasa, 15 Pebruari 2000, sekitar jam 1:30 dini hari, pesawat Singapore Airlines (SQ) mendarat di Terminal 2 Changi, Singapura. Saya harus melewati imigrasi, karena mesti keluar dulu untuk ambil bagasi. Ternyata bagasi saya sudah tiba bersama-sama saya. Terus terang saya agak gumun (heran), bahwa petugas American Airlines (AA) di Tokyo benar-benar menangani bagasi saya yang seharusnya saya ambil di Tokyo, mengikuti penerbangan lanjutan saya ke Singapura malam itu juga. Padahal saya sudah tidak lagi menggunakan jasa penerbangan mereka.

 

Pikiran pertama setiba di bandara Changi adalah langsung mencari counter Thai Airways (TG). Maksudnya mau menegosiasikan tiket saya agar bisa pindah dengan pesawat pertama yang terbang ke Jakarta paginya, yaitu Garuda Indonesia (GA) dan seklaigus menukar tiketnya. Ternyata untuk ketemu counter TG maupun juga GA saya mesti menuju ke Terminal 1. Wah, agak jauh.

 

Saya ubah skenarionya. Saya coba langsung menghubungi counter SQ di Terminal 2. Lalu dijelaskan oleh petugasnya bahwa tiket saya tidak bisa langsung digunakan untuk penerbangan lain, karena di Tokyo tiket AA saya sudah dialihkan ke TG. Untuk dapat pindah ke SQ atau pesawat lain, harus ada endorsement dulu dari pihak TG.

 

Akhirnya tetap juga saya mesti ke Terminal 1, itupun belum tentu buka, di saat dini hari, kata seorang Satpam bandara yang saya tanyai. Belum lagi mesti jalan kaki, karena sky-train yang menghubungkan Terminal 2 ke Terminal 1 dan sebaliknya sudah berhenti beroperasi dan baru mulai beroperasi lagi jam 6 pagi. Belum lagi sambil menyeret bagasi yang cukup berat. Yen, tak pikir-pikir …….., kok ya lebih baik istirahat saja dulu, simpan tenaga untuk esok paginya berburu lagi pesawat tercepat menuju Jakarta. Jadilah, masuk ke Terminal 2 lagi melalui imigrasi, dan stempel imigrasi di paspor pun saya minta untuk dibatalkan.

 

Dalam hal overnight di Singapura seperti ini, pengalaman sebelumnya saya langsung menuju ke lantai 3 untuk tidur di hotel transit airport. Bagaimanapun juga ini adalah kesempatan untuk istirahat, memulihkan stamina, dan bisa tidur dengan posisi sempurna, meskipun harus mbayar. Akan tetapi mempertimbangkan bahwa esok pagi-pagi mesti sudah mulai ngurus ini-itu kesana-kemari, saya memilih untuk tidur di kursi ruang tunggu di lantai 2 saja.

 

Di sana banyak sesama penumpang transit yang juga tidur di kursi menunggu penerbangan lanjutan esok paginya. Tetapi yang lebih penting bagi saya adalah agar tidak kebablasan tidurnya. Lumayan ….., toh bisa juga tidur 2-3 jam, meskipun diselingi nglilir (terbangun) beberapa kali. Selain karena tidurnya tidak dengan posisi sempurna, juga karena pikiran tetap bekerja menyusun skenario untuk esok paginya.

 

Sekedar pengalaman pembanding, pada tahun 1993 saya pernah kemalaman di Cengkareng dalam perjalanan dari Bengkulu ke Yogya, dan terpaksa tidur di Terminal F.  Rasanya seperti di rumah suwung (tidak berpenghuni), meskipun tidurnya di airport. Sepi dan tidak ada “tanda-tanda kehidupan”, boro-boro ada yang jual makanan. Bahkan karena tidur di bangku ruang tunggu saya merasa kedinginan, akhirnya pindah tidur di musholla. Itupun masih kedinginan, lapar lagi.

 

Sebelum merebahkan badan di kursi tunggu Terminal 2 Changi, saya sempatkan untuk mencari smoking area. Maklum, sejak dari New Orleans kemarin saya terpaksa menahan keinginan untuk merokok, karena memang di setiap tempat terpampang tulisan dilarang merokok.

 

Namun sebenarnya saya menahan keinginan merokok bukan lantaran ada tanda “No Smoking”. Melainkan karena tidak saya jumpai orang yang tidak tahu malu, yang suka melanggar tapi justru bangga. Tidak saya jumpai orang yang suka nekad melanggar aturan umum. Saat itu, saya ingin menjadi bagian dari orang-orang yang tahu malu dan menghargai aturan. Ingin rasanya saya mengajak 200 juta tetangga saya agar mempunyai keinginan yang sama. Tapi jangan-jangan …..., untuk punya keinginan semacam itupun para tetangga saya itu juga malu.

 

Di kesempatan lain, sekali waktu saya transit di bandara Taipei, Taiwan. Karena di sekitar ruang tunggu tidak boleh merokok, saya berjalan menuju lorong penghubung antara ruang-ruang tunggu. Agak ke ujung lorong memang tidak saya jumpai tulisan “No Smoking”, tapi juga tidak ada tulisan “Smoking Area”.

 

Hanya yang melegakan, di situ ada bekas puntung rokok berserakan di sepanjang tempat bunga. Saya hanya berlogika : berarti puluhan orang yang merokok sebelum saya berkategori tidak melanggar aturan, alias tidak dilarang. Kesimpulan yang bagus, terkadang logika secara bodoh semacam ini ada gunanya. Paling tidak, bisa menjadi “tempat persembunyian” yang masuk akal.- (Bersambung)

 

 

Yusuf Iskandar

 

[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]